Rabu, 01 April 2009

JANGAN KAU JADIKAN DIRIMU HAMBA DUNIA

JANGAN KAU JADIKAN DIRIMU HAMBA DUNIA

Oleh: MA salim



Dewasa ini, kuhidupan manusia tengah berada dalam dinamika modernitas yang ditandai dengan kemakmuran material, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, serba mekanik dan otomatis. Hal tersebut berdampak kepada hidup dan kehidupan yang semakin mudah. Banyak fasilitas hidup ditemukan mulai dari sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari, alat transportasi, alat komunikasi, sarana hiburan, dan sebagainya. Kecanggihan ini membuat manusia lengah sehingga dimensi spiritualnya terdistorsi. Kita menyaksikan ketercerabutannya akar spiritual dari panggung kehidupan. Salah satunya disebabkan oleh pola hidup yang dilayani perangkat teknologi yang serba otomatis dan canggih.

Ditengah kancah kehidupan global tersebut, terdapat fenomena pada kelompok sosial tertentu yang terparangkap keterasingan, yang dalam bahasa sosiologi disebut alienasi, atau dalam bahasa Rollo May disebut dengan “manusia dalam kerangkeng”, satu istilah yang menggambarkan derita manusia modern. Manusia modern seperti itu sebenarnya sudah kehilangan makna sehingga menjadi manusia kosong (the hollow man). Sayyed Housen Nasr menilai bahwa alienasi ini disebabkan oleh peradaban modern—yang bermula di barat—dibangun dari penolakan (negation) terhadap hakikat spiritualitas secara gradual.[1]

Pada sisi yang lain, segala kemudahan, kesenangan dan kenyamanan lahiriah yang diberikan oleh materi, ilmu dan teknologi pada taraf tertentu menimbulkan kebosanan, tidak membawa kebahagiaan umat manusia, bahkan banyak membawa bencana: peperangan yang banyak memakan korban masih sering terjadi; kesenjangan antara si kaya dan si miskin makin lebar; pencemaran lingkungan karena limbah industri yang makin menghantui umat manusia. Hal itu disebabkan ada “sesuatu yang tercecer” dalam pandangan orang modern. Abad modern sebagai abad teknokalisme sangat mengabaikan harkat kemanusiaan yang paling mendalam, yaitu bidang kerohanian.[2]

Kiranya pengamat kerohanian cukup beralasan ketika melihat perkembangan dunia dan menghawatirkan terjadinya ketidak seimbangan antara pembinaan rohani dan jasmani, mental spiritual dengan fisik material. Ketidak seimbangan tersebut pada kurun waktu tertentu memungkinkan terjadinya akibat yang fatal bagi terwujudnya dunia yang dicita-citakan. Dunia yang dijalin oleh rasa cinta kasih dan kedamaian.

Tidak bisa tidak, bahwa penangkal yang paling ampuh untuk menghadapi ketidak seimbangan tersebut adalah agama dengan ajaran kerohaniannya. Orang boleh saja untuk mengatakan sebagai resep usang dan klise, tetapi betapapun juga, kebenaran tidak akan pernah dilanda virus zaman dan keusangan. Asas perikehidupan dalam keseimbangan kepentingan keduniaan dan akhirat, kepentingan materiil dan spiritual adalah suara kebenaran.[3]

Allah yang Maha Benar telah memberikan arahan suci dalam firmannya pada surat al-Qoshos ayat 77 yang artinya: “sebaiknya, carilah kebagiaan akhirat pada apa yang Allah berikan (petunjuk) untukmu, namun jangan lupa bagianmu di dunia”

Dari uraian ayat diatas, jelaslah bagi kita bahwa kita sebagai hamba sekaligus makhluk ciptaan Tuhan yang hidup di dunia harus selalu mengingat bahwa kita mempunyai dua kewajiban yaitu kewajiban kita sebagai hamba Allah yang harus kita lakukan dan kewajiban kita sebagai makhluk yang hidup didunia. Dan dalam pelaksanaannya minimal harus seimbang atau tengah-tengah atau bahkan lebih mengutamakan akhirat jika dia mampu. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kewajiban dunia dan akhirat tidak boleh lebih mementingkan dunianya ketimbang akhirat, minimal harus seimbang. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih kita lihat banyak orang yang mementingkan sisi dunianya.

Sudah sejak lama kalangan ulama kebatinan Islam (sufi) menghawatirkan ketidak seimbangan itu, sehingga nada suara senandung dan irama dalam bentuk ucapan dan tulisan termasuk Imam Ghazali seakan-akan membenci dunia dengan serba-serbinya. Sehingga timbul satu tanda tanya, apakah suara mereka itu tidak bertentangan dengan azaz keseimbangan yang difirmankan oleh Allah SWT? Bukankah semua itu cenderung membawa umat pada sikap apatisme dan masa bodoh? Untuk itu kita tidak seharusnya berburuk sangka, tetapi marilah kita coba pelajari dahulu realitas kehidupan manusia. Manusia dihiasi dengan banyak macam kepentingan dan hajat hidup. Dalam arti global, terdapat dua pokok kepentingan dan hajat hidup pada semua manusia, yaitu kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.

Untuk itu, manusia dengan nafsunya selalu berkeinginan agar semua macam kepentingan bisa berhasil semaksimal mungkin dan bisa dinikmati. Untuk mewujudkan dua macam kepentingan ini, manusia memang memiliki keterbatasan. Karena itu faktor pilihan harus ada, sesuai dengan keterbatasannya. Atau dengan menentukan pillihannya dengan cara mempersentase kepentingan dunia dan akhirat.

Meskipun sudah ditentukan factor presentase tingkat upaya pencapaian, ternyata dalam hubungan manusia sebagai makhluk sosial selalu saja terdapat perbedaan-perbedaan kepentingan dan hajat hidup antara individual, antar kelompok, antar lingkungan yang lebih besar. Perbedaan kepentingan-kepentingan itu terkadang menjurus pada pertentangan yang akhirnya lahir permusuhan. Manusia tenggelam dalam urusan dunianya. Garis pilihan jadi kabur.[4]

Memang telah menjadi kelemahan manusia dalam kehidupan sehari-hari bahwa kita selalu sangat tertarik kepada benda-benda duniawi. Kita lupa bahwa benda-benda itu yang memang merupakan perlengkapan hidup dan kita butuhkan, hanyalah menjadi hamba kita, menjadi kebutuhan kita selagi hidup. Akan tetapi kita silau oleh benda-benda mati itu, kita mengejarnya dan mengumpulkannya, bukan lagi karena kebutuhan, melainkan karena ketamakan, karena rakus sehingga kita mengumpulkan sebanyak mungkin. Setelah itu, kita menjadi hamba duniawi, kita melekatkan diri dan kita telah merubah batin kita menjadi benda-benda itu! Maka kita selalu mempertahankan duniawi secara mati-matian, kita tidak bisa lagi hidup tanpa dia, lahir maupun batin. Kehilangan harta benda menjadi hal yang amat hebat dan penuh derita. Mencari dan mengumpulkan harta benda menjadi hal yang paling penting di dalam hidup kita sehingga kalau perlu dalam mengejar duniawi berupa harta benda, kedudukan, kemuliaan dan lain-lain, kita tidak segan-segan untuk sikut-menyikut jegal-menjegal, bunuh-membunuh antara manusia.[5]

Pertetangan antar umat manusia yang diakibatkan oleh harta ini telah diramalkan oleh nabi Muhammad SAW dalam ucapannya yang kurang lebih maksudnya “ umatku akan terpecah belah gara-gara harta benda”. Selain itu beliau juga mengatakan bahwa mencintai dunia adalah pangkal dari segala kesalahan. Dan dunia itu telah dilaknat oleh Allah beserta apa-apa yang berada didalamnya, kecuali dengan dunia itu manusia malah menjadikan dia semakin ingat pada-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah menjadikan makhluk yang paling dibencinya melebihi dunia, dan sesungguhnya semenjak Allah menjadikan dunia tidak pernah memandangnya.[6]

Kalau kita renungkan, memanglah benar adanya bahwa dunia adalah ciptaan yang perlu diwaspadai. Karena ketika kita lengah, niscaya kita akan terjatuh pada keterpurukan dunia dan kita akan lupa kodrat kita sebagai hamba Allah. Hal ini semakin menjauhkan kita dari-Nya. Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi al-Naqsyabandi al-Syazali (1230-1345 H/1811-1926M), yang lebih akrab disebut dengan nama “Tuan Guru Babussalam” (Besilam),[7] dalam wasiat kepada muridnya mengingatkan tentang bahaya dunia. Beliau mengatakan: “jangan bermegah-megah dengan dunia dan kebesarannya…jangan mengumpulkan harta benda banyak-banyak dan jangan dibanyakkan memakai pakaian yang halus.[8] Harta yang banyak, melebihi kebutuhan yang diperlukan hanya akan mendatangkan kelalaian hati dari mengingat bahwa sesungguhnya semua yang terjadi dan yang kita terima adalah kehendak dan pemberian Allah.

Kesenangan dunia ini hakikatnya hanyalah sebentar, sekejap mata. Tempat yang abadi itu adalah akhirat.[9] Karena itu hendaklah kita banyak-banyak membawa bekal pulang ke akhirat, jangan sampai terpedaya dengan hawa nafsu yang mengajak pada keburukan dan kejahatan. Ingatlah kisah-kisah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, akhirnya mereka rugi dunia dan akhirat [10] Selagi masih hidup, lebih baik berbuat bakti kepada Tuhan dan kepada hamba-hamba-Nya. Hidup bukan sekedar mencari harta untuk pengisi peti (keranda jenazah).

Negeri akhirat tempat menanti

Baiklah kita berbuat bakti

Sementara hidup sebelum mati

Jangan mencari harta pengisi peti [11]

Kalau kita amati bentuk-bentuk ungkapan kalangan ulama sufi tentang sorotan-sorotan mereka pada dunia, dapat disimpulkan bahwa mereka mempersilahkan manusia untuk meraih dunia dan akhirat kalau memang mampu, tetapi dalam kenyataannya menunjukkan bahwa betapa banyak sudah manusia yang tenggelam dalam kepentingan dunianya, yang sukar diselamatkan. Bila akhir hayat datang menjelang, mereka tinggalkan dunianya tanpa membawa apapun, karena di akhirat dunia tidaklah berguna dan mereka akan merasakan kerugian yang sangat karena tidak membawa bekal untuk akhirat dikarenakan kesibukan dunia dan melupakan akhirat.[12]



[1] [1] DR. M. Solihin, M. Ag, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung, Penerbit CV Pustaka Setia, cet I, hal 11

[2] Nurcholis Madjid, Warisan Intelektual Islam, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 71

[3] K.H. Haderanie, H.N, Ilmu Ketuhanan, Ma’rifat, Musyahadah, Mukasyafah, Mahabbah,Surabaya, Penerbit Nurul Ilmu, tt, hal 1

[4] K.H. Haderanie, H.N, Ilmu Ketuhanan, Ma’rifat, Musyahadah, Mukasyafah, Mahabbah,Surabaya, Penerbit Nurul Ilmu, tt, hal 2

[5] Asmaraman, S. Kho Phing Ho, Bu kek siansu hal 263

[6] Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Darul Ihya’ juz III hal 198

[7] Babussalam terletak di Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, yang berjarak kira-kira 6 km dari Tanjung Pura, pusat kekuasaan Kerajaan Langkat masa dahulu dimana Sultan Abdul Aziz anak Sultan Musa, mendirikan Mesjid Azizi, salah satu mesjid yang terindah dan bersejarah di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.

[8] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 2.

[9] Lihat QS. An-Nisa : 77.

[10] Syekh Abdul Wahab, Khutbah Ular Hitam, dalam Kumpulan Khutbah Jumat, diedit oleh Khalifah H.Abdul Malik Said, (tp: Babussalam, tt), h. 31



[11] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.5.

[12] K.H. Haderanie, H.N, Ilmu Ketuhanan, Ma’rifat, Musyahadah, Mukasyafah, Mahabbah,Surabaya, Penerbit Nurul Ilmu, tt, hal 2